Search

Monday, January 31, 2011

Anak sebagai Terdakwa: Masihkah Pantas Dipenjara?

- B.R.Azam,SH.MH -

Hukum pidana bukan hanya tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan.
Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparatur penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrument pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Invasi terhadap hak dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang lain.[1]
Hukum pidana ini berlaku untuk setiap orang kecuali untuk orang yang jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit ( pasal 44 KUHP). Anak merupakan subyek hukum pidana yang dapat melakukan suatu tindak pidana. Apabila anak-anak berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih besar ketimbang orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak merupakan sosok manusia yang dalam hidup kehidupannya masih menggantungkan pada intervensi pihak lain.
Dalam memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak secara lebih kuat ketika anak berhadapan dengan hukum dan harus menjalani proses peradilan, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36  tahun 1990. Pemerintah juga menerbitkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan  Anak dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang  Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi  atau Merendahkan Martabat Manusia. Pemerintah juga mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga mengeluarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan  Anak.
Sekumpulan peraturan tersebut merupakan langkah awal dalam memberikan perlindungan kepada anak dalam suatu sistem peradilan pidana. Namun faktanya sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari 11,344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari  hingga Mei 2002, ditemukan 4,325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga  pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar (84.2%)  anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk  anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes). Pada  rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9,465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak pidana pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar,  yaitu 53.3%, berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.[2]
Raju merupakan contoh anak yang berhadapan dengan hukum. Raju adalah anak yang menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Langkat Sumatra Utara karena didakwa berkelahi dengan temannya. Ia dibentak-bentak, bahkan sejak permulaan sidang sudah diberi label sebagai anak nakal. Berbagai fakta tersebut menyiratkan suatu pertanyaan di kalangan masyarakat terhadap aparat penegak hukum yaitu mengenai bagaimanakah proses dan prosedur yang seharusnya dilalui anak ketika berurusan dengan institusi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana merupakan istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Sistem ini terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keterpaduan sistem peradilan pidana dimaknai sebagai “…the collective institutions through which inaccused offender passes until the accusations have been dispossed of or the assessed punishment concluded…” [3]  Sistem peradilan pidana terpadu bukanlah suatu sistem yang bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu secara harfiah melainkan adanya kombinasi yang serasi antar sub sistem untuk mencapai satu tujuan.
Dengan demikian rangkaian proses hukum bagi orang yang dituduh melakukan tindak pidana akan melalui tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan, tahapan penuntutan, tahapan persidangan, dan tahapan menjalani eksekusi. Artinya sejak penangkapan sampai menjalani hukuman orang ini akan berhadapan dengan institusi yang mempunyai kewenangan monopoli secara eksklusif untuk melakukan kekerasan, yakni negara. Selain hal itu, negara secara sah membuat instrumen represi dan mendayagunakan instrumen tersebut secara legal dan terlegitimasi.[4] Instrument tersebut termanifestasi dalam perangkat hukum pidana.
Packer mengemukakan ada dua model Sistem Peradilan Pidana, yaitu Crime Control ModelDue Process Model (DPM). Adapun ciri khas dari crime control model itu ialah sangat mengandalkan “Profesionalisme” untuk mencapai effisiensi yang tinggi. Dan apabila diperlukan peraturan yang bersifat formal pun dilanggar dan  untuk mendapatkan barang bukti dapat memaksakan cara-cara illegal untuk tujuan cepat dan effisiensi.[5] Sehingga untuk menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangan kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas. Crime Control Model ini sering dipertentangkan sebagai kurang manusiawi dan tidak menghormati hak asasi manusia. (CCM), dan
Kemudian model yang kedua yakni Due Process Model dengan ciri-ciri selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt. Kemudian selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati undang-undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (equality before the law). Sehingga model ini dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati hak asasi manusia.
Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan  Anak). Sedangkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberikan definisi Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Batasan usia dalam Undang-undang Pengadilan Anak berbeda dengan Negara lainnya di dunia. Di negara lain, umur minimal tanggung jawab kriminal jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan di Indonesia. Batas umur minimal di Belanda adalah 12 tahun, Prancis 13 tahun, Jerman dan Yugoslavia 14 tahun, Swedia dan Finlandia 15 tahun, Portugal dan Spanyol 16 tahun, bahkan di Belgia 18 tahun.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:[6]
a.       Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah.
b.      Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum
Anak yang melakukan tindak pidana seharusnya dipandang sebagai korban (child perspective as victim). Anak melakukan tindak pidana tidak terlepas dari faktor yang melatarbelakanginya. Bisa jadi faktor pola relasi yang tidak setara antara anak dengan orang dewasa melatarbelakangi anak melakukan tindak pidana. Dalam titik ini kuasa orang dewasa terhadap anak dimanfaatkan untuk mempengaruhi, menyuruh atau melibatkan anak dalam suatu tindak pidana. Di samping itu faktor ketidakadilan struktural yang mengakibatkan kemiskinan yang massive dan derasnya arus informasi tanpa regulasi menjadi pemicu anak melakukan tindak pidana.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak memberikan batasan yang konsisten mana tindak pidana (straafbaar) dan mana yang merupakan kenakalan anak-anak (juvenile). Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 pasal 1 angka 2 a dan 2 b, diberikan batasan yang secara general karena anak nakal itu adalah anak yang melakukan tindak pidana. Itu artinya anak yang melakukan delik sesuai dengan ketentuan legal formal berdasarkan azas legalitas. Yang kedua, anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.[7] Definisi kedua dapat berpotensi melanggar prinsip legalitas yang menjadi basis utama pengadilan pidana. Ketentuan adat dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat bisa jadi malah merugikan anak, mengingat kultur masyarakat yang menempatkan anak di bawah kendali orang tua. Limitasi kenakalan anak yang tidak terbatas ini juga berpotensi digunakan oleh pihak kepolisian untuk membawa anak yang dianggap melanggar kebiasaan ke meja hijau. Dengan demikian pasal ini berpotensi digunakan oleh masyarakat dan kepolisian untuk ”mengadili” anak yang dianggap bersalah karena melanggar adat-istiadat setempat. [8]
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahanan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak. Proses penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.[9] Namun, apabila membaca Bab V mengenai Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan, dan Pemeriksaan Surat, khususnya Bagian Kesatu Penangkapan dari Pasal 16 – 19 KUHAP, tidak satupun ketentuan tersebut mengatur mengenai penangkapan anak yang diduga melakukan tindak pidana.
Dalam menjalankan tugasnya kepolisian diberikan kewenangan diskresi (discretionary power). Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal di mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara anak51 sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara formal.
Jaksa sebagai penuntut umum perkara pidana mempunyai peran penting dalam menjalankan fungsinya dalam penegakan sistem pengadilan pidana anak. Melalui tuntutan yang diajukan kepada terdakwa anak dalam sidang pemeriksaan di pengadilan, hakim memutus suatu perkara. Dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya, hakim mengacu pada tuntutan jaksa Oleh karenanya, dalam konteks perkara anak, seperti halnya polisi, jaksa juga mempunyai kewenangan diskresional. Jaksa dapat mengambil tindakan pengabaian atau tidak meneruskan suatu perkara anak ke tahap selanjutnya atau memberikan putusan pengalihan dari proses hukum formal lebih lanjut.
Proses selanjutnya adalah pemeriksaan di pengadilan. Pengadilan anak karena merupakan bagian dari peradilan umum, maka proses dan mekanisme hukumnya sama dengan peradilan umum lain. Dari segi waktu penyelesaian dan mekanisme hukum juga sama dengan peradilan umum. Seharusnya untuk perkara anak, hakim diberikan waktu secepatnya untuk memeriksa dan memutus perkara anak. Kemudian dalam upaya hukum tidak perlu melalui mekanise banding atau kasasi. Pengadilan Negeri atau pengadilan tingkat pertama putusannya final and binding. selain itu dalam memeriksa perkara anak, hakim seharusnya dengan kewenangannya dapat mengakhiri proses peradilan setiap saat.
Proses Peradilan Pidana Anak berakhir pada institusi pemasyarakatan manakala hakim memvonis terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana dan diperintahkan menjalani hukuman pidana penjara. Anak yang dihukum penjara akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan oleh jaksa sebagai pelaksana eksekusi. Dengan demikian anak yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan berarti dirampas kebebasan pribadinya akibat menjalani hukuman karena melakukan pelanggaran. Namun pada prinsipnya, tidak ada penjara bagi anak. Bahkan Konvesi Hak Anak tidak membenarkan adanya penjara anak. Bila harus direhabilitasi, perlakuan yang diterima seorang anak harus berbeda dengan tindakan yang dikenakan terhadap orang dewasa pelanggar hukum dalam lembaga pemasyarakatan.[10]
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dilaksanakan melalui :[11]
a.       perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b.      penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c.       penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d.      penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e.       pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f.       pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
g.      perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Sedangkan Pendekatan yang dapat digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum sebaiknya adalah yang sesuai dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan norma dengan mengedepankan kesejahteraan anak dan pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum. Pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak Restorative Justice akan menjadi wadah bagi penyelesaian konflik-konflik hukum yang ringan, yang masih bisa diselesaikan di masyarakat tanpa harus masuk ke meja pengadilan.
Prinsip Restorative justice berlandaskan pada prinsip-prinsip due process yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka. Dalam Restorative Justice sendiri, ada prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, pengakuan bersalah dari anak. Pemulihan atau rehabilitasi harus dimulai dengan pengakuan atau rasa bersalah anak yang diungkapkan sebagai bentuk penerimaan terhadap perilakunya yang tidak sesuai dengan norma atau hukum yang berlaku. Kedua, ada penerimaan dari korban dan masyarakat yang telah merasa dirugikan akibat perbuatan yang dilakukan anak tersebut. Penerimaan ini sangat penting supaya anak tidak merasa bersalah bekepanjangan. Jadi dirinya sendiri dapat cepat beradaptasi kembali untuk memperbaiki perilakunya yang buruk.
Ketiga, harus ada kesadaran dari orang yang menjadi korban untuk menerima dan mengakui permohonan maaf yang dilakukan anak. Konsekuensi dari ini bisa diwujudkan dengan berbagai bentuk. Misalnya anak dibebaskan begitu saja tanpa ada imbal balik yang harus dilakukan. Sebut saja dengan mengembalikan kerugian atau memberikan suatu bentuk punishment sebagai upaya menebus kesalahan yang telah dilakukan anak. Antara lain menugaskan anak menjalani masa pemulihan dengan melakukan aktivitas yang disetujui sebagai cara mendidik agar mentaati sebuh peraturan. Tentunya tugas atau pekerjaan yang dibebankan tidak memberatkan dan melanggar hak-hak anak.
Keempat, adanya kerelaan dalam penegakan hukum. Dalam Restorative Justice tidak ada istilah peradilan dan lebih menonjolkan musyawarah. Akan tetapi penerimaan korban terhadap permohonan maaf dari anak, sudah menjadi upaya penegakan hukum dengan mengutamakan keadilan dalam pemulihannya.
Berkaitan dengan implementasi fungsi sistem peradilan pidana di atas  dalam menangani anak, maka pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak menjadi tujuan utama sistem tersebut. Fungsi tersebut harus dilandasi prinsip kepentingan terbaik untuk anak (the principle of the best interests of the child).
Sitem Peradilan Pidana Anak seharusnya berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch). Dalam kerangka ini, pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak. Pada prinsipnya pendekatan ini didasari 2 (dua) faktor sebagai berikut :[12]
  1. Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat,sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa
  2. Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan
Kesimpulan
Berdasar penulisan tersebut maka di dapat beberapa kesimpulan yang pada pokoknya :
1.      Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi anak berperan sangat strategis dalam melanjutkan suksesi suatu bangsa. Oleh karena itu anak yang melakukan tindak pidana seharusnya dipandang sebagai korban (child perspective as victim). Anak melakukan tindak pidana tidak terlepas dari faktor yang melatarbelakanginya.
2.      Sistem Peradilan Pidana Anak seharusnya berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak dengan model yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice (keadilan yang memulihkan) yaitu bentuk penyelesaian konflik-konflik hukum yang ringan berdasarkan partisipasi masyarakat. Jadi kasusnya tidak sampai ke pengadilan dan diproses secara hukum, tapi cukup diselesaikan pada tingkat forum atau komunitas di masyarakat dengan jalan kekeluargaan.


[1] Haji N.A. Noor Muhammad, 2001.Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim (Editor), Jakarta: Elsam, hal. 180
[2] www.tempointeraktif.com, Anak dalam Bingkai Kejahatan, Rabu, 19 Pebruari 2003
[3] Mappi FHUI, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, 2003, www.pemantauperadilan.com
[4] Samuel Gultom, 2003.Mengadili Korban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara, Jakarta:
Elsam, hal. 7-8
[6] Harry e. Allen and Clifford E. Simmonsen, 1989. Correction in America : An Introduction, 5th Edition, Macmillan Publ. Co., hal. 393.
[7]Lihat Undang-undang nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
[8]Mappi FH UI, Pengadilan Anak,  www.pemantauperadilan.com
[9] Lihat pasal 43 ayat (1) Undang-undang nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
[10] www.pikiran-rakyat.com/cetak/0204/14/.htm , Bukan Kejahatan Anak, Tapi Kenakalan
[11] Lihat pasal 64 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan  Anak
[12] Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk menyitir Stewart Asquith, Children and Young People in Conflict with the Law, op. cit., hlm. 72

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Total Pageviews

The Thinking of Law © Layout By Hugo Meira.

TOPO