Search

Thursday, January 27, 2011

Beberapa Terobosan dalam Praktek Peradilan Indonesia

- B.R.Azam,SH.MH -
Persidangan  dengan menggunakan media teleconference mengundang perdebatan panjang. Ada pendapat yang pro dan tidak sedikit yang menentangnya. Pada hal apa bila disimak lebih jauh dalam dunia peradilan di Indonesia, teleconference pernah dilakukan dalam persidangan Rahardi Ramelan, Pengadilan HAM Ad Hoc serta perkara Abu Bakar Ba’asyir. Dan untuk di Bali dalam perkara peradilan kasus Bom Bali dengan terdakwa Ali Gufron alias Mukhlas diselenggarakan teleconference dengan kesaksian wan min bin wan mat dari Malaysia.
Teleconference tidak diatur dalam KUHAP karena pembuat Undang-undang pada waktu itu tentunya tidak menyadari adanya revolusi tekhnologi informasi dan komunikasi yang sedemikian pesat, sehingga KUHAP tidak mampu mengantisipasinya apabila mengacu secara kaku / formal legalistik Memang teleconference tidak sesuai dengan ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a dan pasal 167 KUHAP yang menghendaki kehadiran saksi secara fisik di ruang persidangan akan tetapi Majelis Hakim dengan tolok ukur ketentuan pasal 27 ayat (1) undang-undang No. 14 tahun 1970 yo Undang-undang No. 35 tahun 1999 mewajibkan Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dalam menggali, mengikuti, memahami dan mengejar kebenaran materil dalam hukum pidana, maka aspek formal hendaknya dapat ditinggalkan secara selektif. Menurut penulis, teori Langdell tidak tepat untuk dipertahankan. Teori Langdell menyatakan bahwa hukum adalah suatu ilmu eksakta, suatu ilmu hukum lebih menyerupai fisika, zoologi, botani dan ilmu kimia[1]
Pada dasarnya KUHAP dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran materil, sehingga teleconference hanyalah sekedar sarana untuk mencari kebenaran materiil tersebut, sehingga apa salahnya apabila dimanfaatkan. Semua pihak  boleh juga menguji keterangan saksi dan keterangan saksi tersebut  bisa didengar oleh semua  orang. Dengan adanya kemajuan informasi dan tekhnologi  yang marak akan mewarnai perkembangan dunia hukum dan peradilan itu sendiri.
Dalam praktek di  Pengadilan apabila Tim penasihat hukum  menyatakan ketidak berhasilan Jaksa Penuntut umum dalam suatu persidangan tidak perlu disiasati dengan cara teleconference,  karena pasal 162 KUHAP mengaturnya, maka penulis berpendapat karena saksi yang telah disumpah dipenyidik kemudian dibacakan dan keterangan tersebut disamakan nilainya dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diucapkan disidang ( pasal 162 (1),(2) KUHAP ).[2] Ada juga pendapat yang mengatakan teleconference bertentangan dengan asas kompetensi peradilan maka, apabila hal ini tetep dipertahankan peradilan Indonesia akan ketinggalan zaman dalam menghadapi revolusi tekhnologi dan informasi. Pemeriksanaan saksi jarak jauh dengan menggunakan teleconference adalah merupakan salah satu wujud  lahirnya peradilan informasi yang berjangkauan global lintas batas. Pemeriksaan melalui media teleconference mirip dengan cara pemeriksaan biasa di persidangan yang dilakukan secara lansung dan transparan. Fungsi dan tujuannya sejalan dengan proses peradilan itu sendiri yaitu untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil.
Ketentuan pasal 167 ayat (1)  KUHAP disebutkan, setelah saksi memberikan keterangan  ia tetap hadir disidang kecuali Hakim Ketua sidang memberi izin untuk meninggalkan ruang sidang.dan ketentuan tersebut secara tekstual dituntut kahadiran seorang saksi secara fisik diruangan persidangan. Akan tetapi, kenyataannya untuk menegakkan kebenaran materiil yang bermuara pada keadilan dalam praktek  sedikit telah ditinggalkan. Misalnya secara faktual Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 661 K/Pid/1988 tanggal 19 juli 1991 dengan kaidah dasar dimana keterangan saksi yang disumpah dipenyidik karena suatu halangan yang sah tidak dapat hadir dipesidangan, dimana keterngannya tersebut dibacakan maka sama nilainya dengan kesaksian dibawah sumpah. Dalam konteks tersebut diatas maka dunia peradilan telah melakukan suatu terobosan dimana kehadiran saksi secara fisik didepan persidangan adakalanya disimpangi.[3]
Berdasarkan ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP  alat bukti dikenal berupa  keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, kelima limitasi alat bukti tersebut yang ditapkan dalam praktik peradilan Indonesia deawasa ini.  Apabila dijabarkan ke lima limitasi alat bukti disatu sisi dapat menguntungkan, akan tetapi disisi lain dapat pula merugikan. Dikatakan menguntungkan karena secara limitatif ke lima limitasi alat bukti sebagai tolak ukur adanya kepastian hukum untuk dapat membuktikan seseorang bersalah atau tidak. Dikatakan merugikan  dengan adanya limitasi demikian akan membelenggu Hakim dalam mencari kebenaran materiil untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan kemajuan zaman dan tekhnologi  maka alat bukti lainnya seperti film, teleconference, sampel darah, pita suara dan lain sebagainya relatif kurang diakomodir sehingga penerapannya menimbulkan prolematik
Perkembangan hukum yang relatif pesat tidaklah cukup diatur dalam suatu perundang-undangan. Konsekuensi pengaturan limitasi alat bukti sebagaimana ketentuan KUHAP diatas maka di Indonesia yang dikejar adalah keadilan undang-undang, bukanlah keadilan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pada dasarnya keadilan undang-undang bernuansa dan akhirnya bermuara kepada aspek formal legalistik. Titik tertinggi dan keadilan yang formal legalistik ini tentu sepintas membuat para pemegang kebijakan aplikatif sebagai corong undang-undang. Apabila direnungkan lebih filsafati aspek ini tentu terpulang kepada dunia pendidikan itu sendiri pada dasarnya kurikulum dunia pendidikan memang mengacu kepada aspek formal legalistik. Kalau ini selalu diterapkan tunggulah kematian ilmu hukum.[4] Contoh faktual adalah teleconference dimana karena tidak diatur dalam KUHAP maka tidak dapat diterapkan. Pada hal sebenarnya muara dari penegakan hukumi dealnya harus relatif tertuju kepada kebenaran materiil lah yang harus dicari, sehingga aspek yang bersifat administratif, formal dan relatif kurang substansial, hendaknya ditinggalkan.Bagaimana menyiasati teleconference sebagai bentuk kemajuan teknologi dalam hukum acara pidana sebagai salah satu cara mendapatkan kebenaran material dapat terealisir untuk masa ke depan ? penulis, condong apabila KUHAP dilakukan sebuah revisi khususnya dalam limitasi alat bukti. Mungkin, kini setelah KUHAP berumur 24 tahun, kelima alat bukti dalam KUHAP sudah saatnya sudah dihapus atau ditinggalkan. Pada dasarnya setiap atau semua alat bukti dapat diajukan sebagai bukti, kecuali undang-undang menentukan lain, diserahkan kepada pertimbangan Hakim. Dengan pembuktian yang demikian memang membawa beberapa implikasi di dalamnya seperti sistem pembuktian yang dianut KUHAP. Akan tetapi, apabila dikaji lebih mendalam sebenarnya secara diam-diam azas tersebut dalam praktek peradilan di Indonesia telah diterapkan. Misalnya sebagai contoh konkret menurut kajian teoritik sistem pembuktian yang diatur ketentuan pasal 183 KUHAP yang menyebutkan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan titik tolak demikian, menurut kajian teoritik dan pandangan doktrina, maka sitem pembuktian yang dianut pasal 183 KUHAP adalah sistem pembuktian secara negatif. Akan tetapi, bagaimana dalam praktenya ? ternyata, sistem pembuktiannya telah bergeser menjadi sistem pembuktian secara positif oleh karena walaupun Hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi telah didukung oleh dua alat bukti, maka Hakim tetap menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Oleh karena ini, apabila polarisasi pemikiran limitasi alat bukti dalam revisi KUHAP mendatang dihapuskan, maka membawa kosekuensi kepada sistem pembuktian yang dianut menjadi sistem pembuktian bebas.
Disamping itu, implikasi yang pasti timbul adalah kebebasan Hakim yang terlampau bebas. Konteks ini sebenarnya dapat diminimalisir dengan adanya rambu-rambu untuk menjaga agar kebebasan Hakim dipergunakan sebagaimana mestinya berupa adanya katup pengaman, seperti pedoman pemidanaan. Selain itu, implikasi yang timbul maka sistem hukum Indonesia akan bergeser bukan lagi menjadi Eropah Kontinental akan menjadi “quasi” Eropah Kontinental dengan Anglo Saxon/case law. Aspek ini sebenarnya tidaklah perlu dirisaukan, oleh karena sekarang dunia baik sistem anglo saxon maupun Eropah Kontinental tidak ada yang mnganutnya secara murni, begitupun dengan  Belanda, sebagai sumber utama hukum Indonesia telah meninggalkan kemurnian sistem Eropah Kontonental dalam hukum pembuktiannya. Dengan adanya sistem pembuktian baru dalam KUHAP mendatang, maka bukan saja teleconference dapat diakomodir, akan tetapi seiring perkembangan zaman dan tekhnologi maka bukti modern lainnya relatif dapat diterapkan dalam praktek peradilan guna mendapatkan kebenaran materiil dan keadilan sesuai dengan harapan masyarakat


[1] Langdell, Sosiologi of Law, sebagaimana dikutip oleh Dragan Milovanovik, Sosiologi of law, Newyork, hal.4
[2] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
[3] Putusan Mahkamah Agung RI, Nomor 661 K/Pid/1988, tanggal 19 Juli 1991.
[4] Ade Saptomo, Orasi Ilmiah, yang disampaikan pada Dies Natalis ke-54 Fakultas HukumUniversitas Andalas, Padang, pada tanggal 5 September 2005.

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Total Pageviews

The Thinking of Law © Layout By Hugo Meira.

TOPO