Search

Friday, January 28, 2011

Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

- B.R.Azam,SH.MH -

Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (recht staats) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (macht staats).  Hal ini terdapat dalam UUD 1945 sehingga setiap tindakan baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara maupun rakyat haruslah berdasarkan pada hukum.
Hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses didalam mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataan. Dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dikenal adanya 2 jenis lapangan hukum yaitu lapangan hukum privat dan lapangan hukum publik. Hukum Pidana sebagai bagian dari lapangan hukum publik memiliki suatu kodifikasi tersendiri yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dewasa ini KUHP memasuki usia 60 tahun lebih. KUHP saat ini merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia yang dulunya bernama W.v.S. (Wetboek van Straftrecht) dan berlaku berdasarkan asas konkordansi. Seperti halnya manusia, semakin tua usia semakin banyak terungkap sisi lain kehidupan. Cobaan datang silih berganti, terkadang muncul di antara titik lemah dan keraguan manusia untuk bertindak.

KUHP yang sudah berumur dan belum berubah sejak dahulu dipandang dapat menghambat Pembinaan hukum nasional yang secara bertahap terus menerus ditingkatkan dalam rangka pembaharuan hukum dan pembinaan tertib hukum untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum serta memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dalam jangka panjang. Oleh karena itu perumusan kembali KUHP menjadi salah satu elemen penting dalam mewujudkan pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Perumusan KUHP dalam bentuk Rancangan KUHP dimulai sejak tahun 1958 dengan terbentuknya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang kemudian diubah menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Sejak itu disusun Konsep Rancangan KUHP Buku I, Konsep KUHP tahun 1972, Konsep KUHP tahun 1982/1983, Konsep KUHP tahun1987/1988, Konsep KUHP tahun1991/1992, Rancangan Undang-undang KUHP tahun 1999/2000 dan sekarang Rancangan Undang-undang KUHP tahun 2004.
Konsep Rancangan KUHP ini tidak terlepas dari pemikiran bahwa karakteristik Hukum di Indonesia merupakan adopsi dari tatanan sosial masyarakat yang tercermin dalam tata laku hidup dan kehidupan bersosialisasi dalam ranah keragaman Masyarakat Indonesia yang  heterogen. Keberadaan Hukum Adat sebagai hukum yang hidup itu tidak dapat dipungkiri peranannya sebagai suatu kerangka dasar penyusunan hukum  nasional di masa yang akan datang.
Eksistensi Hukum Adat di Indonesia
Hukum Adat merupakan hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam kurun waktu mulai terbentuknya masyarakat. Hukum Adat terbentuk karena adanya interaksi antar warga masyarakat dalam suatu wilayah tertentu sehingga berlakunya hukum adat mengikat hanya untuk warga masyarakat dan dalam wilayah tertentu.
Hukum Adat dan Hukum Pidana Adat berasal dari kebudayaan masyarakat. Pada hakikatnya kebudayaan itu  mempunyai tiga perwujudan yaitu : pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya. Kedua, kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, kebudayaan dapat berwujud sebagai benda-benda hasil karya manusia.[1]
Sistem nilai-nilai budaya bangsa terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat yang merupakan warga kebudayaan yang bersangkutan yang berfungsi sebagai pedoman untuk berbuat atau tidak berbuat. Menurut Soepomo, didalam hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat dan perbuatan ilegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika hukum diperkosa.[2] Sedangkan menurut Teer Haar BZN bahwa yang dianggap suatu pelanggaran ialah setiap gangguan segi satu terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materil dan imateril orang-seorang atau dari orang-orang banyak yang merupakan suatu kesatuan. Tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat, karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang.[3]
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut adanya suatu kesamaan bahwa pada suatu tindak pidana adat itu merupakan tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang menyebabkan terganggunya ketentraman dan keseimbangan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu guna memulihkan ketentraman dan keseimbangan itu maka terjadilah reaksi-reaksi adat. Reaksi-reaksi adat untuk mengembalikan keadaan magis yang diganggu dan meniadakan keadaan sial yang ditimbulkan oleh Pelanggaran adat.[4]
Dasar hukum berlakunya hukum pidana adat pada zaman Hindia Belanda ialah pasal 131 I.S. jo A.B. (Algemenn Bepalingen van Wetgeving). Sedangkan semasa berlakunya UUD 1950 yaitu pada pasal 32, pasal 43 ayat 4, pasal 104 ayat 1 , pasal 14 ayat 3 dan pasal 16 ayat 2. Pengaturan lain juga terdapat dalam Undang-undang Darurat No.1 tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil Pasal 5 ayat 3 sub b. Namun sesungguhnya tidak diperlukan dasar hukum yang diambil dari ketentuan undang-undang sebab hukum adat itu hukum yang asli dan sesuatu yang asli itu berlaku dengan sendirinya kecuali ada hal-hal yang menghalangi berlakunya.[5]
2.2. Perbedaan Pokok antara KUHP dan Hukum Pidana Adat
Pada awalnya  terjadi dualisme dalam KUHP yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang No.1 tahun 1946 yang menyatakan bahwa W.V.S.  berlaku  untuk bekas daerah Republik Indonesia Yogya dan W.v.S.v.I. berlaku bagi  daerah-daerah yang dulunya dikuasai Belanda. Namun sejak dikeluarkannya Undang-undang No.73 tahun 1958 menandai berakhirnya dualisme itu dan menyatakan  bahwa Undang-undang No.1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
Hukum Pidana Adat  berasal dari kebudayaan masyarakat dan proses terbentuknya pun mengikuti perkembangan masyarakat adat setempat. Oleh karena itu hukum yang berlaku pun dikenal hidup dalam masyarakat setempat.
KUHP dan Hukum Pidana Adat memiliki karakterik perbedaan dikarenakan latar belakang terbentuknya pun berbeda. KUHP berasal dari warisan kolonial Belanda yang diadopsi dari Perancis sedangkan Hukum Pidana Adat  berakar dan bersumber dari masyarakat itu sendiri.
Beberapa perbedaan pokok antara sistem hukum pidana dalam KUHP dan sistem pidana adat antara lain :
1.   Subyek Hukum
Subyek Hukum dalam KUHP hanyalah seorang man usia dan tidak berlaku bagi Persekutuan hukum Indonesia seperti Desa, kerabat atau famili. Sedangkan dalam Hukum pidana adat, diantaranya di daerah Minangkabau, Tanah Gayo, Nias, Kalimantan, Gorontalo, Ambon, Bali, Lombok adalah sering terjadi apabila terjadi kejahatan di kampung daerah asal penjahat itu atau di kampung tempat terjadinya pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing maka  kerabat si penjahat diharuskan menanggung hukuman yang dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan warganya.
2.   Kesengajaan atau Kesalahan
KUHP mengandung prinsip bahwa seseorang  hanya dapat dipidana apabila perbuatannya dilakukan dengan sengaja ataupun dengan kealpaan. Sedangkan dalam Hukum Pidana Adat unsur kesalahan ini tidak merupakan syarat mutlak bahkan tidak perlu adanya pembuktian tentang kesengajan atau kesalahan.
3.   Pelaku Kejahatan
Pelaku kejahatan yang diatur oleh KUHP membedakan antara turut serta (mededaderschap), membujuk (uitlokking) dan perbantuan (medeplictigeheid) seperti tercantum dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Dalam Hukum Pidana Adat tidak dikenal adanya pembedaan itu karena siapa saja yang turut serta menentang/melanggar peraturan adat maka harus memenuhi usaha yang diputskan pemuka adat dalam memulihkan kembali hukum adat yang ternoda.
4.   Delik Percobaan
KUHP mengenal adanya suatu kejahatan yang dilakukan namun tidak selesai bukan karena kehendak si pelaku atau lebih dikenal dengan delik percobaan. Sedangkan Hukum Adat tidak menghukum seseorang  karena mencoba melakukan kejahatan. Sebagai contoh dalam hukum adat, apabila ada seseorang ingin membunuh orang lain dengan  memanah, namun ternyata orang itu hanya terluka maka si pelaku tidak dikenai hukuman mencoba membunuh namun hukuman karena melukai orang lain.
5.   Sifat pelanggaran
KUHP menganut  sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu (prae existence regels) sedangkan hukum pidana adat tidak menganut sistem itu karena  delik yang telah ditetapkan tidak berlaku sepanjang masa. Lahirnya suatu delik adat diikuti hilangnya delik adat yang lain. Jadi berkembang mengikuti pola peradaban masyarakat adat itu.
Hukum Adat dalam Rekonstruksi Hukum Pidana di Indonesia
Pembaharuan Hukum Pidana bukan hanya menyangkut aturan yang terdapat dalam peraturan sebelumnya. Seperti pendapat Gustav Radbruch, Memperbaharui hukum pidana tidak berati memperbaiki hukum pidana, tetapi menggantikannya dengan lebih baik.[6] Pendapat Radbruch berhasil diterapkan oleh Polandia dengan KUHP Baru sejak tahun 1969, demikian pula Swedia tahun 1965 yang diibaratkan  Simsons bahwa apabila KUHP itu seperti gedung maka “batu-batu dari gedung lama itu tidak ada sama sekali yang tetap pada tempatnya”.[7]
Pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan secara menyeluruh dan sistematis dengan memperhatikan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Jadi, ukuran untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan bergantung pada nilai-nilai dan pandangan kolektif yang terdapat di masyarakat mengenai apa yang benar, baik, bermanfaat atau sebaliknya. “Das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird  mit  dem volke” yang berati hukum itu tidak dibuat, tetapi berada dan berkembang dengan jiwa bangsa seperti pendapat Von Savigny.
Menurut Muladi, KUHP Nasional di masa-masa datang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru. Khusus sepanjang yang menyangkut alasan sosiologis, hal ini dapat menyangkut yang bersifat ideologis maupun hal-hal yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia sepanjang tetap dalam kerangka bagian budaya bangsa (subsulture) dan bukan merupakan budaya tandingan (counter culture).[8]
Sebagai implementasi pemikiran Muladi itu, dalam Rancangan KUHP Baru telah memuat suatu rumusan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan yang dilakukan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dan mengakui adanya hukum yang hidup atau hukum adat yang berlaku (Pasal 1  (3)). Jadi selain adanya asas legalitas sebagai asas yang fundamental bagi negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum juga mengakui adanya hukum adat yang masih hidup untuk daerah-daerah tertentu.
Dengan perumusan pasal 1 (3) itu maka hukum adat dapat menjadi sumber hukum positif dalam arti hukum pidana adat dapat menjadi dasar hukum pemeriksaan di Pengadilan dan juga sebagai sumber hukum negatif yaitu  ketentuan-ketentuan hukum adat dapat menjadi alasan pembenar, alasan memperingan pidana atau memperberat pidana.
Pengaruh hukum pidana adat pun terlihat dalam perumusan sanksi pidana tambahan seperti tercantum dalam pasal 62 Rancangan KUHP yaitu “pemenuhan kewajiban adat”. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat hanya dapat dijatuhkan apabila secara nyata adat setempat menghendaki hal itu dan apabila tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan kegoncangan serius dalam masyarakat setempat serta tidak melanggar asas kepatutan dan kesusilaan.[9]
Dalam delik Zina, Pengaruh hukum pidana adat pun terlihat dalam perumusan makna perzinahan yaitu pada pasal 420  dan 421 Rancangan KUHP. Pada pasal 420, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah  melakukan persetubuhan dapat dipidana. Perumusan ini mengalami perluasan karena pada KUHP ex W.V.S tidak dapat dipidana dengan delik zina apabila ada laki-laki dan  perempuan melakukan persetubuhan namun masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah. Di dalam hukum adat, tidak diperbolehkan laki-laki dan perempuan bersetubuh apabila belum menikah karena dapat mengganggu keseimbangan nilai-nilai adat dan juga menodai kesucian tempat tinggal masyarakat adat dan bila terjadi maka harus diajukan ke pengadilan adat setempat.
Pada pasal 421 rancangan KUHP mengatur tentang laki-laki dan perempuan  yang melakukan persetubuhan  dengan sebelumnya berjanji untuk menikahi namun terjadi pengingkaran terhadap janji itu maka pelakunya dapat dipidana. Di Bali, ada tindak pidana adat lokika sanggraha yang mirip dengan perumusan pasal 421 itu. Namun tidak hanya di Bali, sebagian besar daerah adat di Indonesia pun menganut prinsip seperti yang tertulis di pasal 421 itu.
Dengan demikian, hukum adat di masa yang datang akan menjadi sumber hukum dan menjadi dasar dalam pembentukan hukum nasional. Oleh karena itu hukum pidana adat sangat relevan untuk dijadikan bahan penyusunan Rancangan KUHP  yang akan berlaku secara efektif. Sehingga KUHP Baru Indonesia akan mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan bangsa yang berasal dari jiwa serta kepribadian bangsa.
Berdasar penulisan tersebut maka di dapat beberapa kesimpulan yang pada pokoknya :
  1. Pembaharuan hukum pidana di Indonesia merupakan suatu keharusan dalam hal ini adalah pembentukan KUHP baru karena KUHP sebagai kodifikasi sekarang ini telah berumur puluhan tahun dan dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda yang belum dapat menjawab permasalahan di masyarakat.
 Hukum adat yang hidup di masyarakat menunjukkan eksistensinya dalam perumusan dan penyusunan rancangan KUHP karena disadari bahwa hukum adat berkembang dan hilang bersama masyarakat. Oleh karena itu hukum pidana adat sangat relevan untuk dijadikan bahan penyusunan Rancangan KUHP yang akan berlaku secara efektif. Sehingga KUHP Baru Indonesia akan mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan bangsa yang berasal dari jiwa serta kepribadian bangsa.


[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta, PT Gramedia, 1974, hal. 15.
[2] Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Pramita, 1982, hal.110.
[3] Teer Haar BZN, Azas-azas Hukum Adat, Bandung, Alumni, 1979, hal.255
[4] Lesquiliier dalam Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Bandung, Alumni, 1979, hal. 226.
[5] Sudarto, Hukum Pidana 1, Semarang, Yayasan Sudarto, 1990, hal.17
[6] Sudarto, hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983, hal. 60
[7] Ibid
[8] Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang, FH UNDIP, hal.3.
[9] Penjelasan Pasal 93 Rancangan KUHP tahun 2000

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Total Pageviews

The Thinking of Law © Layout By Hugo Meira.

TOPO